Kamis, 11 Juni 2015

Sahabat Dalam Kenangan


Sebuah SMS mengejutkan saya, Rabu 10 Juni 2015 pukul 5.30'. Saya lihat pengirimnya bu Cucu. Rekan saya mengajar. Dan lebih terkejut lagi  saat kata demi kata saya baca. "Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun. Telah meninggal dunia ibu Hetty/istri bapak Koharudin, tadi jam 01.00 di Bandung.Mohon do'anya semoga almarhumah mendapat terbaik di sisi Allah SWT. Aamiin... Alfatiha". Sebait kalimat itu saya baca berulang ulang, seperti tidak percaya. Sementara itu bayangan seorang wanita yang sedang berjuang melawan penyakitnya nun jauh di sana, di sebuah desa yang jauh dari sahabat sahabatnya membayang dengan jelas di pelupuk mata. Sebuah penyesalan muncul, betapa tidak, karena alasan kesibukan, kami membatalkan menjengoknya sehari sebelum sahabat kami itu dipanggil Pemiliknya Allah SWT. Sebuah niat baik memang jangan ditunda, apalagi menjenguk yang sakit. 

Saya baca Alfatiha, sementara tangan dengan kuatnya memegang hp dengan layar masih  memunculkan isi  sms tentang berita kematiannya. Kenangan tentangnya, kembali bermunculan seperti baru saja terjadi, mengajak saya untuk bercengkrama menyusuri perjalanan dengannya.


Saat almarhum masih bersama kami, nomor 3 dari kiri depan 



Saya tidak tahu dengan jelas, kapan almarhum sakit. Yang jelas dalam ingatan, betapa kuatnya dia untuk sembuh. Dan selalu berusaha memperlihatkan " saya sehat". Terlihat dari caranya menyikapi sakitnya. Kalau masih bisa untuk mengajar, dia akan lakukan. Dan terlihat pula untuk selalu tampil prima dan terlihat rapi dalam penampilan, sehingga kami melihatnya seperti baik baik saja. 

No 7 dari kiri 

Ah  saya tidak bisa melanjutkan tulisan tentang kenangan dengannya. Banyak kenangan namun entah kenapa sulit menguraikannya. Sementara mobil yang membawa kami menuju kediamannya sudah menembus kedinginan daerah Cilaku.ya saat saya menulis ini sedang dalam perjalanan menuju Kadupandak, sebuah daerah di Cianjur Selatan yang ditempuh kurang lebih 5 jam dari Cipanas.Sebuah jarak yang tidak bisa dikatakan dekat. Apalagi harus melalui jalan yang di kanan kirinya masih banyak ditanami pohon pohon besar. Di sanalah sahabat kami menghabiskan hari hari terakhirnya sambil berjuang melawan penyakitnya.Mengingat itu lagi, sebuah penyesalan menyeruak kembali, "mengapa alasan kesibukan membatalkan niat untuk turut menengok bersama sahabat -sahabat lainnya yang menengok bulan lalu, dan sehari sebelum kematiannya, mengapa pula rencana menengoknya kembali tidak terlaksana?". Lagi lagi alasan duniawi, kesibukan. Semoga bu Hetty memaafkan kami, dan semoga pula dilapangkan kuburnya, dan syurga menjadi kediaman terakhirnya. 

salah satu pemandangan jalan menuju tempat kelahiran almarhum

Saya terus bercengkrama dengan perasaan sendiri.Sementara tangan terus mengetik kata demi kata tentangnya di blog pribadi saya ini. Namun sedikit yang bisa tertuang tentang kenangan yang terjadi. Yang ada sebuah rasa yang terus bermain main tentang kekuatannya untuk berjuang melawan penyakitnya di sebuah daerah yang jauh dari sahabat sahabatnya,  dari anak -anak didiknya. Sebuah kekuatan yang mungkin almarhun dapatkan dari sang bunda yang melahirkan yang selalu berada di dekatnya juga bersama kedua anaknya, serta suaminya. 

"Di sana tempat lahir beta, di buai dibesarkan bunda, tempat  berlindung di hari tua, ssmpai akhir menutup mata" kalimat lagu itu tiba tiba saja muncul dalam ingatan saat diri sibuk dengan perasaan tentangnya. Yang membawa sebuah kesadaran diri tentang sebuah takdir. Takdir kalau bu Hetty menutup mata saat berada di sekitar orang orang terkasihinya , juga melewati hari hari terakhirnya di peraduan tanah kelahirannya. Selamat jalan sahabat, kenangan tentangmu akan terus mengisi di sudut hati kami. Yang Insya Allah tak kan terhapus walau waktu terus bergulir. 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar