Kamis, 26 Maret 2015

Perjalanan Rohani Yang Penuh Kemacetan

Hari ini,Jumat 27 Maret 2015 ada  berita duka, suami salah seorang rekan dirawat di rumah sakit Husada Jakarta. Berita itubsaya terima dari sms salah seorang rekan dan sekaligus mengajak untuk menjenguk bersama dengan kepala sekolah, sebuah ajakan yang sayang kalau ditolak. Mudah mudahan  menjadi lahan ibadah Aamiin

Tepat pukul 07.00 mobil yang membawa tujuh orang penumpang itu termasuk saya menembus udara pagi Puncak Cipanas. Alhamdulillah awan malu malu untuk menayungi gunung namun dingin dan segarnya  udara puncak terasa masuk melalui celah celah pintu mobil yang sengaja di buka sedikit. Pantas saja penduduk Jakarta berrela rela mengisi waktu libur ke sini. Padahal pasti mereka sudah tahu dengan pasti kemacetan yang luar biasa akan mereka temui. Tapi itulah faktanya udara segar dan keindahan Cipanas menjadi daya tarik, mengalahkan kemacetan itu sendiri.Apakah memang karena warga Jakarta sudah terbiasa dengan kemacetan seperti halnya saya yang tidak terbiasa dengan kemacetan?.Ala bisa karena terbiasa.


Dari kaca mobil saya melihat sepinya puncak. Sepi karena pagi dan hari Jum'at. Mobil bernomor B dari arah bogor atau Jakarta satu dua lewat.  Begitu juga motor apalagi bis, jarang saya temui. Entah kalau agak siang. Kepadatan arus lalu lintas Puncak sulit diprediksi.

Mobil yang membawa saya dan rekan lainnya mulai melambat jalannya, saat sampai di Pasar Cisarua. Seperti tempat lainnya, di mana ada pasar kemacetan terjadi.Mobil terus melaju dengan kecepatan sedang. Kini sudah masuk Tall lingkar dalam cawang, kepadatan mobil pribadi mulai terasa. Aura Jakarta dengan kemacetannya mulai terlihat. Kesempatan saya untuk menulis.Sengaja saya minta duduk di jok  belakang agar leluasa untuk menulis. Saya tidak mau hilang kesempatan untuk menjawab tantangan KSGN untuk menulis setiap hari selama satu minggu. Ide cerita?.tidak saya rencanakan mau menulis apa, yang penting saya menulis.

Setelah beberapa  jam mobil mulai sampai di jalan Gunung Sahari. Tetap sama, macet. Tetapi masih wajar untuk ukuran Jakarta." Dua belas menit lagi sampai bu" ujar pak Tohir rekan guru yang menjadi petunjuk jalan dan sekaligus  mengendarai mobil.Ada pemandangan yang menimbulkan sebuah kekaguman. Di sepanjang jalan yang dilalui berbaris pohon pohon besar. Walaupun tetap udara panas terasa.Namun bisa dibayangkan panasnya kalau tumbuhan itu tidak ada.
ruang depan Rumah Sakit Husada

Udara dingin AC terasa saat memasuki ruangan depan Rumah Sakit Husada. Tak berapa lama rekan yang suaminya dirawat datang, melalui sms dia tahu kedatangan rombongan. Kami diajak ke ruang ICU di mana suaminya yang sakit jantung di rawat. Kami hanya diperbolehkan masuk bergiliran dua orang dua orang, yang sebelum kedua tangan dibersihkan.Melihat pasien terasa betapa mahalnya sehat.yang kadang lupa untuk di syukuri.Kesehatan sebuah rezeki yang tiada bandingnya oleh apapun. Sebuah perjalanan rohani yang begitu berarti, kemacetan dan panasnya perjalanan tidak ada artinya di bandingkan dengan munculnya sebuah kesadaran. Rasa syukur atas nikmat sehat yang telah diberikan Allah sang pemberi Kesehatan.
Ruang depan Rumah Husada Husada
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar